Sabtu, 19 September 2009

Met Lebaran

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1430H
Mohon dimaafkan segala kesalahan cici yah...

Rabu, 16 September 2009

Kota Kelamin

Mataku berkaca membentuk bayangan. Bayangan wajahnya. Wajah pacarku. Wajah penuh hasrat menjerat. Duh, dia menyeringai dan matanya seperti anjing di malam hari. Aku tersenyum dalam hati, ia menggeliat, seperti manusia tak tahan pada purnama dan akan segera menjadi serigala. Auu! Ia melolong keras sekali, serigala berbadan sapi. Mamalia jantan yang menyusui. Aku meraih putingnya, menetek padanya, lembut sekali. Lolongannya semakin keras, menggema seperti panggilan pagi. Pada puncaknya ia terkapar melintang di atas tubuhku. Dan tubuh pagi yang rimbun. Ia tertidur.


Pagi menjelang, ketika gelap perlahan menjadi terang. Tampak tebar rerumput dan pepohonan menjulang, angin dan sungai dan di baliknya bebek-bebek tenggelam dalam gemericik. Kutatap tubuhnya yang berkeringat membasahi tubuhku. Mengalir menumpuk menjadi satu dengan keringatku. Bulir-bulir air seperti tumbuh dari mahluk hidup. Bulir-bulir yang juga dinamai embun-embun bertabur di atasnya, bercampur keringat kami.

Matahari membidik tubuhku dan tubuhnya. Seperti kue bolu yang disirami panas agar merekah wangi. Wangi birahi tubuh kami. Pacarku masih mendengkur. Aku memperhatikan dadanya yang naik turun berirama, yang di atasnya dibubuhi bulu-bulu halus. Aku memainkan bulu-bulu itu dan sesekali mencabutinya. Bangun, kataku berbisik di telinganya. Lihat, matahari menyapa kita. Bebek-bebek naik ke daratan dan mendekati, mematuk biji-biji tanah di sekitarku. Aku melirik pelir pacarku yang kecoklatan. Kulit kendur, dan seonggok penis layu di atasnya. Aku tertawa sendiri. Bebek-bebek menyahut. Aku membelai penisnya, seperti membangunkan siput yang bersembunyi di balik rumahnya. Penis yang kunamai siput itu bergerak bangkit, bangun rupanya. Menegang, menantang, dan tersenyum memandangku. Selamat pagi, kataku. Kamu lelah semalaman, memasuki liang liurku. Dan rupamu yang menegang berjam-jam, kau harus menembus liangku berulang-ulang.

Di tempat inilah kami biasa bertamasya melakukan senggama. Tempat yang jauh dari mata-mata manusia yang mengutuk kelamin orang dan kelaminnya sendiri. Pacarku lalu terbangun, matanya memicing, bibirnya membentuk perahu, tersenyum seadanya. Liangmu nakal, katanya sambil menggeliat dan memelukku. Apa jadinya vagina tanpa liang. Apa jadinya tanpa lubang. Bagaimana menembusnya, katanya. Dan liurmu yang berlumur di penisku, bagaimana Tuhan menciptanya.

Aku memetik sekuntum bunga dan mematahkan putiknya, terlihat getah mengalir di ujung patahannya. Seperti ini, kataku menunjukkan padanya. Dan aku seperti ini, katanya sambil menjatuhkan serbuk sari bunga itu di atas kepala putik. Kami tertawa renyah.

Kami sepakat bahwa kelamin seperti sekuntum bunga dengan dua jenis kelamin di dalamnya. Benang sari dan putik yang tak mungkin berpisah dari kelopak bunganya. Juga warna-warna alam yang membiarkan kami melakukan senggama. Tak ada yang melarang, membatasi, tak juga mengomentari.

Inilah kebahagiaanku dengannya, kelamin-kelamin yang bahagia di malam hari. Kelamin juga butuh kebahagiaan. Kami mengerti kebutuhan itu. Kelamin-kelamin yang melepas jenuh, setiap hari tersimpan di celana dalam kami masing-masing. Tak melakukan apa pun kecuali bersembunyi dan menyembur air seni. Kelamin-kelamin yang menganggur ketika kami bekerja keras mencari uang. Apalagi penis pacarku, ia terlipat dan terbungkus di kantong sempaknya. Ketika mengembang ia menjadi sesak. Betapa tersiksanya menjadi penis. Begitu pula vagina, wajahnya sesak dengan celana dalam ketat nilon berenda-renda, tak ada ruang baginya. Kelamin-kelamin hanya dibebaskan ketika kencing dan paling-paling memelototi kakus setiap hari.

Kelamin kami memang tak boleh terlihat, oleh binatang sekalipun. Meski pada awalnya mereka hadir di dunia yang dengan bebasnya menghirup udara bumi. Sejak itu mereka bersinggungan dengan benda-benda buatan manusia. Terutama ketika dewasa, mereka semakin tak boleh diperlihatkan. Tak boleh terlihat mata manusia.

Suatu hari, vaginaku memucat. Penis pacarku kuyu. Aku heran, apa yang terjadi, kelamin yang tak bahagia. Aku dan pacarku diam, suasana sepertinya tak lagi menghidupkan kelamin-kelamin yang menempel di tubuh kami. Seandainya mereka bisa bicara apa maunya. Lalu kami mencoba telanjang dan berbaring berpelukan di rerumputan. Kelamin kami saling bertatapan. Tapi kami malah kedinginan. Tubuh kami menggigil memucat. Angin malam pun datang, mengiris-iris tulang kami. Ai! Pacarku, tiba-tiba penisnya hilang. Ke mana ia? Di sini, ia melipat meringkuk tak mau muncul, kata pacarku. Vaginamu? Mana vaginamu? Pacarku merogoh vaginaku, berusaha sekuat tenaga mencari lubang dan liang, tapi tak ketemu. Mana lubangmu? Kok susah? Tanya pacarku. Ia menutup sendiri, kataku. Lihat, senyumnya tak ada lagi.

Kami berdua beranjak, kemudian duduk di dekat sungai, menjauh dari angin. Tubuhku dan dia masih telanjang dan pucat di malam yang semakin pekat. Kami terdiam. Diam saja sampai pagi.

***

Sudah lama aku tak bertemu pacar. Entah mengapa, aku pun tak tertarik untuk bertemu. Bahkan mendengar lolongan dan dengkur tidurnya. Serta dadanya yang naik turun bila terserang nafsu. Aku sibuk bekerja beberapa minggu ini. Tak pernah tertarik pula pada bebek-bebek, angin dan pohon yang biasa aku dan dia temui di tengah senggama kami. Entah mengapa, ketika kubuka celanaku tampak vaginaku pucat tak lagi menunjukkan senyumnya. Kutarik celanaku dengan kasar, seperti ingin menyekap vaginaku yang tak lagi ramah. Sial! Kataku. Aku merasa tak ada gunanya punya kelamin kecuali untuk keperluan kencing. Aku kehilangan gairah, kulempar semua berkas-berkas di meja kerjaku. Juga foto-foto di atas meja. Foto-foto ketika kami bahagia. Dan foto-foto kelamin kami di dalam laci. Aku melemparkannya hingga membentur dinding.

Kubuka kaca jendela ruangan. Tampak tebaran gedung-gedung tinggi dan patung besar menjulang di tengah kota dan jalan-jalan layang yang menebas di tengahnya. Tampak pemukiman kumuh di baliknya dalam cahaya remang ditelan tebaran lampu gedung dan jalan yang menyala-nyala. Napasku sesak, seperti lama tak bernapas. Kujambak rambutku sendiri, dan aku berteriak panjang sekuat-kuatnya. Sampai aku lelah sendiri. Aku duduk di pojok ruangan, memandang meja kerjaku yang berantakan. Duduk lama hingga bulan tiba. Semua orang yang ingin menemuiku aku tolak. Aku mengunci pintu dan mematikan lampu. Aku terserang sepi. Kehilangan motivasi. Aku tertidur di atas kakiku sendiri.

Terdengar suara-suara merintih memanggil-manggil. Suara sedih dan renta. Ia seperti datang dari udara kota. Aku terbangun dan menajamkan pendengaran. Suara apa itu? Ia ternyata hadir tak jauh dari dekatku. Aku mencari sumber suara itu. Mana dia? Kutemui suara itu yang ternyata keluar dari vaginaku.

Kami tak pernah diakui. Kami terus saja diludahi. Kami dinamai kemaluan, yang artinya hina. Manusia tak pernah menghargai kami. Sama dengan pelacur-pelacur itu. Segala aktivitas kami dianggap kotor.

Samar-samar kudengar suara vaginaku yang aneh. Ia tak seperti suara manusia. Kata-katanya seperti kayu yang lapuk dan lembab, yang sebentar lagi akan dimakan rayap.

Bagaimana cara Tuhan memaknai kami? Kami pun buruk dalam kitab-kitab suci, lebih buruk dari setan dan jin.

Aku mengelus vaginaku. Kubuka celanaku dan membiarkannya bernapas. Aku bingung sendiri bagaimana ia bisa bicara. Itukah yang membuatmu pucat selama ini?

Keningku berkerut. Setelah itu tak ada lagi suara. Aku menatap vaginaku, seperti menatap mahluk hidup yang mati. Aku menyalakan lampu. Aku membereskan berkas-berkasku yang berantakan di lantai ruangan. Aku membuka kunci pintu dan keluar menuruni tangga, aku ingin berjalan mengelilingi kota di hari menjelang larut. Tampak orang-orang lalu-lalang dan beberapa seperti sengaja menabrak tubuhku. Aku jengkel dan berteriak memaki mereka. Tiba-tiba datang suara-suara seperti rayap yang merambat di balik kayu-kayu bangunan tua. Ampun, suara apa lagi ini? Samar-samar aku seperti melihat orang-orang telanjang dan berbicara dengan kelaminnya. Semua orang di kota ini telanjang! Kelamin mereka megap-megap. Penis-penis menegang seperti belalai gajah yang sedang marah dan melengkingkan suaranya. Vagina-vagina memiawik dan menampakkan kelentit-kelentitnya yang tak lagi merekah. Liang-liang gelap vagina tampak menganga di depan mata.

Aku tak kuasa mengendalikan kebingunganku. Aku tahu para kelamin sedang meneriakkan batinnya. Aduh, manusia. Benar juga, bahkan tubuhmu sendiri tak kau hargai. Aku ingin sekali membantu mereka. Bahkan kelamin-kelamin yang sejenis dan bercinta setiap malam, dan kelamin-kelamin yang telah diganti dengan kelamin jenis lain, aku melihat jelas sekali kelamin para waria yang sedang berjoget di jalanan itu. Kelaminnya menangis tersedu-sedu mengucapkan sesuatu.

Aku lelah dan berhenti di sebuah taman kota. Aku duduk di bangku taman itu sembari melihat patung telanjang yang menjulang di atasku. Penisnya tampak dari bawah tempatku duduk. Aku melihat rupa patung itu yang penuh amarah, dan penis besarnya yang tak lain adalah batu.

Pacarku, aku teringat pacarku. Di manakah pacarku.

Di sini!

Kaukah itu?

Tak kuduga pacarku tiba mendatangiku dalam keadaan telanjang. Penisnya seperti jari-jari yang sedang menunjuk. Penisnya menunjuk-nunjuk ke arah kelaminku. Ternyata aku pun telanjang. Orang-orang di kota ini telanjang tak terkecuali. Kulihat vaginaku megap-megap dan liurnya menetes-netes. Pacarku lekas meraih tubuh telanjangku di taman itu, memeluk dan menggendongku di bawah patung besar telanjang menjulang.

Matanya menembus mata dan hatiku. Jarinya merogoh liang gelap vaginaku yang sudah menganga. Pacarku sangat mengenal teksturnya. Liur yang melimpah. Limpahannya membasahi jemarinya. Lalu ia mencabutnya dan menggantikan dengan penisnya yang menembus. Kini kami bersenggama di tengah kota. Kota di mana setiap orang telanjang dan tak peduli dengan ketelanjangan orang lain. Auu! Pacarku kembali menjadi serigala melolong. Ia menggigit seluruh tubuhku. Seperti anak anjing, aku menggapai sepasang puting di dadanya dengan lidahku. Kami menyatu dalam tubuh dan kelamin. Aku mengerti sekarang, kelamin pun punya hati.

Jumat, 11 September 2009

Entah apa yang ada dalam pikiranku
Bayangmu selalu muncul tanpa kupinta
Hadir disetiap langkah langkahku
Menemaniku dalam malam malam indahku

Engkau begitu jauh untuk kuraih
Tapi terasa begitu dekat di hatiku
Aku tak pernah takut ketika kesunyian malam datang
Karena kuyakin engkau duduk disampingku

Mengawasiku, Bercerita, Tertawa, dan saling Bertukar fikiran
itulah yang ada dalam fantasi fikiranku tentangmu

Aku Rindu padamu kekasihku
Aku rindu mewujudkan impianku bersamamu

Selasa, 01 September 2009

Tegarlah Sahabatku

Sewaktu kuliah dulu aku punya 2 orang sahabat dekat. Sebutlah nama mereka dengan Anti dan Cindy. Semester pertama kuliah aku bertemu dengan Anti, aku dikenalkan ke Anti oleh Cindy sebagai temannya sewaktu di SMA. Cindy adalah temanku sewaktu SD dulu, jadi aku lebih dekat dengannya. Kemana mana kita bertiga selalu bersama, ke kampus, ke toko, ikut acara organisasi dan berbagai petualangan seru sering kita lalui bersama. Tak jarang teman temanku yang lain sering bertanya apabila mereka melihat ketika diantara kita hanya jalan berdua saja. rasanya ada yang tak lengkap bila satu diantara kita tidak bersama.

Kedua sahabatku punya karakter yang berbeda. Aku menghargai mereka karena mereka punya sikap yang unik dan menjadi ciri khas mereka. Cindy orangnya kreatif dan aktif dalam bidang seni maupun berorganisasi, karenanya pada satu periode dia pernah menjabat sebagai ketua dewan tapi dia juga agak keras kepala. Anti adalah seorang yang punya pribadi lembut, penyayang, perhatian, dan punya rasa sosial yang tinggi. dia terkadang menjadi penengah diantara Aku dan Cindy yang sama-sama agak keras. hal inilah yang membuat persahabat ini terasa indah. ada hal hal yang tertentu yang kita tidak bisa bersepakat dalam suatu masalah. karena kita punya sikap dan cara pandang berbeda. tapi perbedaan itu yang membuat kita bersama sampai saat ini.

Di tahun ketiga kuliah Cindy semakin jarang bertemu dengan kita (aku dan Anti). Mungkin karena aktifitas ektrakurikulernya kebanyakan, ataukah karena memang dia yang ingin jauh dari kami berdua... entahlah aku juga tak mengerti jalan fikirannya. Aku hanya mengira alasan menjauhnya dia, karena dia merasa kita tidak setuju atas hubungannya dengan Pacarnya. Sebutlah namanya Dani, seangkatan dengan kita dan pernah sekelas waktu tingkat pertama.

Yang membuat aku tak suka dengan Dani, pertama, karna dia pemabuk. pernah dalam kelas saat kuliah tentang tauhid dia datang dengan beberapa teman dalam keadaan habis minum minuman keras.. trus adu bicara lagi dengan dosen tentang ketuhanan. Saat itu teman-teman lain pengen keluar dari kelas karena ga tahan sama ocehannya, tapi karena untuk menghargai Dosen ,mereka tetap bertahan sampai dosen itu sendiri yang menutup diskusinya yang kacau. Kedua, karena pacarnya banyak. Aku kasihan sama Cindy yang hampir tiap kali dia ketemu sama Dani selalu bertengkar. Entah itu karena cemburu, curiga ato hal-hal kecil yang bisa buat pertengkaran hebat buat mereka. Seluruh teman2 dikampus yang kenal sama Cindy dan Dani sudah memperingatkan dia. Tapi begitulah wataknya. semua nasehat yang masuk dianggap sebagai bentuk ketidaksukaan mereka terhadap pacarnya.

Sampai pada tahun terahir kuliah, Cindy semakin menarik diri dari kita berdua. Anti semakin khawatir dengan keadaan Cindy. Aku hanya bilang ke Anti "Dia punya alasan sendiri untuk jauh dari kita dan itu adalah pilihannya. sudah cukup usaha kita untuk menasehati dia. Dia sudah dewasa untuk tau resiko pilihannya".

Sampai suatu saat Cindy datang kerumah Anti sambil menangis. Aku yang ada disitu ikut mendengarkan apa yang dia katakan sambil memperhatikan matanya yang lebam. Ketika aku diminta untuk bicara aku langsung memuntahkan seluruh isi hatiku. Tanpa aku sadar begitu kalimat pertama sampai terahir yang keluar adalah kalimat hinaan buat dia. Aku tak sadar aku telah menjatuhkan harga diri temanku di depan orang orang yang ada disitu. Aku marah, Aku berteriak dan Aku menangisi sikap sahabatku. Sikap yang tidak peduli akan dirinya yang telah disakiti, dipukuli, dan dianiaya fisiknya. Masihkah dia merasa itu adalah bentuk cinta Dani ke Dia? ataukah dia yang tak pernah sadar jika selama ini dia disakiti karena Cintanya yang sangat besar?? saat itu tubuhku gemetaran karana tak kuasa menahan amarahku. Sahabatku telah ku lukai perasaannya. Malam itu dia pulang tanpa pamit pada orang rumah, dijemput oleh Dani dengan disertai ancaman baginya.

Setelah peristiwa itu aku terus merasa menyesal akan apa yang telah kulakukan pada sahabatku. Bukannya mensupport dia atau membantu dia keluar dari masalah aku malah menceramahi dia dengan kata kata yang menyakitkan. Sebagai manusia aku juga tak luput dari salah dan khilaf. Aku tak berhak menghakimi dia, Aku tak punya hak untuk menentukan mana yang baik dan buruk untuknya. Tapi akankah kalian diam, disaat orang yang kalian sayangi diperlakukan dengan semena mena? TIDAK...dan Tidak akan pernah diam... Kalu seperti kata Tanteku " Langkahi dulu Mayatku sebelum hal itu terjadi"

pertengahan tahun 2008 aku mendengar sahabatku telah menikah dengan Dani. Aku tak yakin akan hal ini sampai ahirnya dia menelponku untuk mengatakan kebahagiaannya. Aku senang karena dia telah menikah, ahirnya usahanya tidak sia sia. Dan aku lebih bahagia lagi karena dia masih menganggapku sebagai sahabatnya yang layak diberitahu akan rasa bahagianya. Ternyata dia tidak memendam rasa karena perbuatanku. Tapi yang aku heran kenapa Aku dan Anti tidak diundang pada saat akad nikahnya? Aku hanya mengira alasannya karena dia tidak ingin melihat kedua sahabatnya bersedih di hari bahagianya. Dan ternyata butuh perjuangan besar untuk meyakinkan keluarga Cindy untuk menerima Dani dan aku merasa itu adalah hasil jerih payah sahabatku seorang diri.

Setelah dia menikah aku tak pernah lagi dengar kabar darinya, no Hp nya juga aku ga dikasih. Sampai setelah aku sahur semalam Cindy nelpon lagi. Kata pertama yang diungkapakan adalah "Alhamdulillah ci, Alhamdulillah karena semua sudah selesai".
apa yang selesai Cin???
Aku sudah bercerai dari Dani.
Ha ... Secepat itukah??? kataku.
ini sudah keputusannku, Katanya.
Aku tak tau harus bilang apa. Apakah aku harus bersyukur atas cerainya dia dari suaminya. Ataukah prihatin dengan keadaannya skarang. tapi semuanya terjawab setelah dia cerita kepadaku alasan dia sampai mengambil keputusan seperti itu.

1 minggu setelah mereka menikah, Dani meninggalkan Cindy untuk pulang ke kampungnya. katanya ditelpon sama ibunya untuk pulang. Dani ahirnya balik lagi ke Cindy setelah 2 bulan dikampungnya dengan membawa masalah baru. Dani menuntut cindy untuk menandatangani surat ijin menikah lagi. dan ternyata wanita yang akan dia nikahi adalah pacar yang telah lama ditinggalkannya disini. dan wanita itu baru 2 hari melahirkan anaknya. Sanggupkah kalian merasakan ini?? Orang yang begitu kalian cintai tiba-tiba datang hanya untuk me Madumu dengan wanita lain???? Dia.... Sahabatku yang telah bertahun tahun memperjuangkan cintanya, bahkan rela kehilangan Sahabatnya, Keluarganya, dan orang-orang yang dicintainya, hanya untuk seorang Laki-laki yang tidak tau berterima kasih.

Tapi dia tetap sahabatku.. Seorang wanita Tegar, yang mampu melalui semua cobaan hidupnya seorang diri. Disaat orang lain mencemooh dan menyudutkan dia, dia tetap dalam ketetapan hatinya. Aku salut akan kekuatan dan ketegaran Hatinya, Aku bangga karena punya seorang sahabat seperti dia. Namun Tuhan berkehendak lain.. Semoga inilah Hadiah Allah kepada Sahabatku yang selalu duduk menitikkan Air matanya di sepertiga malam-malam indahnya.

Note:
To Angkatan 2007 IAIN Gorontalo Fakultas Syariah I Miss All
To Fery, Uten, Rosidah dan Muslih makasih bantuannya Di Pengadilan.